Zaman yang kian modern banyak tradisi nenek moyang lambat laun menghilang. Tradisi adalah salah satu warisan budaya yang seharusnya dilestarikan dan dikenalkan pada generasi muda karena tradisi-tradisi tersebut merupakan salah satu cara mengenang para leluhur. Banyak wilayah di Indonesia yang sudah banyak melupakan tradisi yang ditinggalkan para leluhur, namun masih ada juga wilayah yang masih mempertahankannya.
Desa Sukodono kecamatan Tahunan kabupaten Jepara menjadi salah satu desa yang masih mempertahankan tradisi leluhur tersebut. Meskipun kota Jepara sekarang ini sudah bisa dianggap kota metropolitan. Tradisi yang saat ini masih perlu dilestarikan dan harus dijaga adalah sebuah identitas yang mereka miliki. Desa Sukodono juga tidak meninggalkan apa yang telah dilakukan oleh leluhur. Tidak hanya sampai di situ saja, desa Sukodono juga masih menggunakan cara penanggalan Jawa yaitu dengan penanggalan Aboge (Alip Rebo Wage). Penanggalan Aboge (tanggalan jawa) merupakan ajaran Islam yang menurut para leluhur adalah ajaran yang dibawa dan disebarkan oleh Raden Sayid Kuning. Aboge ditranformasikan kepada penganutnya secara tradisional melalui pendidikan keluarga dan pertemuan para penganut Aboge.
Aboge adalah perhitungan Penanggalan Jawa yang berdasarkan pada masa peredaran Windu atau delapan tahunan. Satu Windu menurut Aboge terbagi atas; Tahun Alip, Ha, Jim awal, za, Dal, Ba, Wawu, dan Jim akhir. Hitungan ini sudah turun temurun sejak jaman wali songo yang diteruskan oleh Raden Sayid Kuning dan tetap ada hingga sekarang yang terus dilestarikan oleh komunitas Jawa di Desa Sukodono Jepara. Meskipun, seharusnya pada tahun sekarang sudah menggunakan penanggalan Asapon.
Desa Sukodono mempunyai banyak tradisi upacara ritual yang dilakukan tiap tahunnya serta ditempatkan di balai desa. Dari berbagai tradisi tersebut para sesepuh masih menggunakan cara penanggalan Aboge. Akan tetapi dalam masalah ibadah Warga Sukodono menggunakan penanggalan Hijriyah walaupun ada sebagian kecil dari orang tua masih berpatokan dengan hitungan Aboge. Dari tradisi yang dilakukan oleh masyarakat desa ada sepuluh tradisi upacara ritual yang biasanya dilakukan dibalai desa. Di antaranya:
Peringatan tersebut dilakukan masyarakat desa Sukodono karena mengenang peristiwa Karbala, yaitu sayyid Hasan dan Husain di masanya. Masyarakat desa Sukodono menyebutnya dengan baginda Hasan dan Husain. Pada peristiwa tersebut, para pasukan kehabisan makanan ketika perang dan Dewi Salamah berfikir untuk melakukan sesuatu agar pasukan perang mendapatkan makanan. Dengan keadaan tersebut, Dewi Salamah berusaha memasak batu, krikil dan pasir. Namun dengan keajaiban masakan tersebut berubah menjadi bubur dengan lima warna sebagaimana warna bubur Suronan. Inilah asal usul bubur Jawa yang dijadikan makanan tradisi suronan.
Pada waktu itu, Nabi Nuh Alaihis Salam memberikan makanan pada pengikutnya berupa apem, namun hanya satu tetapi Nabi Nuh menyuruh memakannya dengan menyebut Nama Allah Ta'ala (membaca Bismillah). Ajaibnya hanya satu kali gigitan mengikutnya sudah merasa kekenyangan. Berawal dari kisah Nabi Nuh tersebut, Masyarakat Sukodono melakukan peringatan Barian Apem tersebut dengan kuah gula merah yang di masak yang melambangkan banir air bah dan apemnya melambangkan perahunya.
Desa Sukodono merupakan salah satu contoh desa yang masih mempertahankan tradisi upacara ritual yang diwariskan para leluhurnya. Sehingga, bagi daerah lain yang masih mempunyai tradisi atau ritual peninggalan leluhur seperti itu, hendaknya dijaga dan dipertahankan. Bagi tetua kampung yang tahu asal muasal serta tata cara adat istiadat tersebut, hendaknya mengajarkannya kepada generasi muda juga agar tradisi tersebut tidak hilang dimakan zaman. Generasi muda harus mengetahui jerih payah para nenek moyang mereka karena sebuah sejarah harus dipertahankan.
Tradisi upacara ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Sukodono Tahunan Jepara di balai desa memang diperingati dengan menggunakan dasar penanggalan Jawa Islam sistem Aboge yang selalu berbeda dengan sistem Jawa Islam sistem Asapon bahkan berbeda dengan penangglan Hijriyah. Upacara ritual tersebut ada yang berpedoman dengan tanggal dan ada yang berpedoman dengan hari. Yang perpedoman dengan tanggal adalah Suronan (8 Suro), Maulid Nabi Muhammad (12 Mulud), Nisfu Sya’ban (15 Ruwah), Lailatul Qadar (21 Poso), Idul Fitri (1 Sawal), serta Idul Adha (10 Besar). Sedangkan yang berpedoman denga hari adalah Arang Kambang (Jum’at Wage pada bulan Bakdo mulud), Barian Tandur (Jum’at Legi pada bulan Jumadil Akir), Barian Apem (Jum’at Pon pada bulan Sawal) dan Sedekah Bumi (Senin Pahing pada bulan Apit).
Dalam pelaksanaan ibadah seperti memulai puasa, shalat hari raya, serta kurban, masyarakat Sukodono tetap mengikuti pada apa yang telah diputuskan oleh Pemerintah. Walaupun masih ada sebagian kecil dari orang yang sudah lanjut usia yang pedoman dengan Aboge.
Desa Sukodono kecamatan Tahunan kabupaten Jepara menjadi salah satu desa yang masih mempertahankan tradisi leluhur tersebut. Meskipun kota Jepara sekarang ini sudah bisa dianggap kota metropolitan. Tradisi yang saat ini masih perlu dilestarikan dan harus dijaga adalah sebuah identitas yang mereka miliki. Desa Sukodono juga tidak meninggalkan apa yang telah dilakukan oleh leluhur. Tidak hanya sampai di situ saja, desa Sukodono juga masih menggunakan cara penanggalan Jawa yaitu dengan penanggalan Aboge (Alip Rebo Wage). Penanggalan Aboge (tanggalan jawa) merupakan ajaran Islam yang menurut para leluhur adalah ajaran yang dibawa dan disebarkan oleh Raden Sayid Kuning. Aboge ditranformasikan kepada penganutnya secara tradisional melalui pendidikan keluarga dan pertemuan para penganut Aboge.
Aboge adalah perhitungan Penanggalan Jawa yang berdasarkan pada masa peredaran Windu atau delapan tahunan. Satu Windu menurut Aboge terbagi atas; Tahun Alip, Ha, Jim awal, za, Dal, Ba, Wawu, dan Jim akhir. Hitungan ini sudah turun temurun sejak jaman wali songo yang diteruskan oleh Raden Sayid Kuning dan tetap ada hingga sekarang yang terus dilestarikan oleh komunitas Jawa di Desa Sukodono Jepara. Meskipun, seharusnya pada tahun sekarang sudah menggunakan penanggalan Asapon.
Desa Sukodono mempunyai banyak tradisi upacara ritual yang dilakukan tiap tahunnya serta ditempatkan di balai desa. Dari berbagai tradisi tersebut para sesepuh masih menggunakan cara penanggalan Aboge. Akan tetapi dalam masalah ibadah Warga Sukodono menggunakan penanggalan Hijriyah walaupun ada sebagian kecil dari orang tua masih berpatokan dengan hitungan Aboge. Dari tradisi yang dilakukan oleh masyarakat desa ada sepuluh tradisi upacara ritual yang biasanya dilakukan dibalai desa. Di antaranya:
1. Tradisi Suronan
Tradisi Suronan biasa diperingati pada bulan Suro atau hijriyahnya bulan Muharram, tepatnya pada tanggal 8 Suro/muharram. Ciri khas yang selalu ada dalam tradisi ini adalah dengan tradisi bubur Suronan. Bubur suronan adalah bubur yang terbuat dari campuran bubur beras, kelapa, blendung jagung, pisang dan uwi yang dimasak jadi satu dengan lauk pauk telur dadar, tahu dan tempe.Peringatan tersebut dilakukan masyarakat desa Sukodono karena mengenang peristiwa Karbala, yaitu sayyid Hasan dan Husain di masanya. Masyarakat desa Sukodono menyebutnya dengan baginda Hasan dan Husain. Pada peristiwa tersebut, para pasukan kehabisan makanan ketika perang dan Dewi Salamah berfikir untuk melakukan sesuatu agar pasukan perang mendapatkan makanan. Dengan keadaan tersebut, Dewi Salamah berusaha memasak batu, krikil dan pasir. Namun dengan keajaiban masakan tersebut berubah menjadi bubur dengan lima warna sebagaimana warna bubur Suronan. Inilah asal usul bubur Jawa yang dijadikan makanan tradisi suronan.
2. Tradisi Maulid Nabi Muhammad Shollalloohu Alaihi Wasallam
Maulid Nabi Muhammad Shollalloohu Alaihi Wasallam, biasanya diperingati pada malam tanggal 12 Mulud (hijriyahnya Robiul Awwal). Dalam peringatan tersebut, Kepala Desa mengadaan selamatan di balai desa yang oleh masyarakat disebut dengan “Selamatan Sego Golong” dan jajan pasar. Hidangan yang biasanya dihidangkan dalam tradisi ini diantaranya nasi, dekem ayam putih, apem dan juga pisang satu tangkep. Biasanya pisangnya berjumlah 44 biji. Pisang yang berjumlah 44 biji tersebut, memiliki arti karena awal mula berdirinya desa Sukodono tersebut memiliki 44 kepala keluarga. Sehingga untuk mengenang berdirinya desa tersebut yang sekarang sudah bayak masyarakat yang tinggal di dalamnya, supaya masyarakat desa tetap menjadi satu keluarga.3. Tradisi Arang-arang Kambang
Tradisi Arang-arang Kambang biasanya dilaksanakan pada hari Jum’at Wage bulan Bakdo Mulud (hijriyahnya Robiul Akhir). Dengan tradisi tersebut masyarakat meyakini untuk menghindari balak atau mala-petaka terhadap desa maupun masyarakat. Upacara ritual Arang-arang Kambang menggunakan bubur inger-inger dan bubur baro-baro.4. Tradisi Barian Tandur
Tradisi Barian Tandur dilaksanakan pada hari Jum’at Legi bulan Jumadil Akhir, namun ketika semua masyarakat sudah selesai panen. Masyarakat melaksanakan upacara ritual di balai desa guna bersyukur atas panen yang diperoleh. Masyarakat biasanya melambangkan upacara ritual ini dengan Dewi Sri. Sehingga ketika musim awal untuk memulai pertanian dapat lancar tanpa halangan.5. Tradisi Nisfu Sya’ban
Upacara ritual ini dilaksanakan pada tanggal 15 Ruwah (hiriyahnya nisfu Syaban) yang dilaksanakan di balai desa. Tidak hanya itu saja setelah selamatan di balai desa masyarakat mengadakan pawai keliling desa dandi sepanjang jalan dipasang obor untuk lebih meramaikan suasana. Kegiatan tersebut dilaksanakan menurut sesupuh desa supaya kehidupan masyarakat desa tidak ada yang bertengkar dan saling tolong menolong.6. Tradisi Lailatul Qadar
Pada umumnya masyarakat Islam melaksanakan perayaan malam Lailatu Qadar pada malam 25 atau 27 Poso (Ramadhan). Tetapi berbeda dengan masyarakat desa Sukodono, mereka melaksanakan selamatan Lailatul Qadar pada malam 21 pada bulan Poso (romadhon). Selamatan tersebut dilaksanakan di balai desa dan juga menu selamatannya adalah nasi dan panganan dicampur jadi satu kemudian dimakan bersama. Menurut sesepuh desa malam 21 tersebut dilaksanakan selamatan dan sudah mengikat pada tanggal selanjutnya jadi tanggal 21 sudah termasuk tanggal 23, 25, 27 dan 29.7. Tradisi Bodo Kupat / Hari Raya Idul Fitri
Hari Raya Idul Fitri diperingati pada bulan 1 Syawal. Upacara ritual di balai desa dilaksankan setelah Subuh dengan mengirim doa kepada para nenek moyang. Selain itu, tradisi masyarakat desa Sukodono ketika ada orang atau kerabatnya meninggal dunia satu keluarga yang ditinggal dilarang sedih dan dilarang ada pertengkaran. Para sesepuh desa meyakini bahwa orang yang meninggal sebelum 40 hari arwahnya masih dirumah, jadi masih melihat kegiatan yang dilakukan keluarganya. Kemudian tidak hanya itu juga ketika malam 40 hari dilakukan selamatan pada seperempat malam terakhir yaitu pada pukul 03.00 karena menurut sesepuh desa doa yang paling mujarab yaitu seperempat malam terakir.8. Tradisi Bodo Apem / Barian Apem
Tradisi ini selain masyarakat desa Sukodono juga ada yang masih dilaksanakan di daerah lain, meski namun cerita dan caranya berbeda. Masyarakat desa Sukodono menyebutnya tradisi ini Barian Apem. Tradisi selamatan ini dilaksanakan pada hari Jum’at Pon di bulan Sawal, namun ketika bulan Sawal tidak ada Jum’at Pon bisa diganti pada hari Jum’at Legi. Menurut masyarakar desa Sukodono, upacara ritual tersebut dilaksanakan untuk mengenang cerita Nabi Nuh Alaihis Salaam, Yaitu ketika peristiwa Nabi Nuh mendapatkan perintah dari Allah Ta'ala untuk membuat perahu di atas gunung. Perahu yang dibuat Nabi Nuh menurut kitab yang dibuat pedoman desa Sukodono terbuat dari kayu Jratun dari syurga yang tumbuh di gunung. Ketika pembuatan perahu tersebut Nabi Nuh menyuruh pengikutnya untuk mengumpulkan kayu.Pada waktu itu, Nabi Nuh Alaihis Salam memberikan makanan pada pengikutnya berupa apem, namun hanya satu tetapi Nabi Nuh menyuruh memakannya dengan menyebut Nama Allah Ta'ala (membaca Bismillah). Ajaibnya hanya satu kali gigitan mengikutnya sudah merasa kekenyangan. Berawal dari kisah Nabi Nuh tersebut, Masyarakat Sukodono melakukan peringatan Barian Apem tersebut dengan kuah gula merah yang di masak yang melambangkan banir air bah dan apemnya melambangkan perahunya.
9. Tradisi Sedekah Bumi
Sedekah Bumi dilaksanakan pada hari Senin Pahing atau Senin Pon di bulan Apit. Dahulu sebelum menjadi desa Sukodono adalah dukuh Karang Anyar,disana juga terdapat Petilasan. Awalnya desa tersebut belum mempunyai kepala desa dan menginduk dengan desa Senenan.Ketika sudah memiliki 44 kepala keluarga, baru didirikan desa baru yaitu Sukodono dengan melakukan pemilihan petinggi (Kepala Desa). Sampai sekarang desa Sukodono masih mempunyai keterkaitan dengan desa Senenan dalam acara peringatansedekah bumi yaitu ketika desa Sukodono menyembelih kerbau dan menghadirkan hiburan rakyat,maka desa Senenan akan menghadirkan wayang. Begitu juga sebaliknya,apabila desa Senenan menyembelih kerbau dan menghadirkan hiburan rakyat,maka desa sukodono menghadirkan wayang.10. Hari Raya Idul Adha
Sebagaiman umat Islam pada umumnya, masyarakat Sukodono juga melakukan perayaan Hari Raya Idul Adha pada tanggal 10 bulan Besar. seperti halnya pada bulan Sawal, masyarakat juga melaksanakan selamatan bersama untuk mendoakan para leluhur desa Sukodono.Desa Sukodono merupakan salah satu contoh desa yang masih mempertahankan tradisi upacara ritual yang diwariskan para leluhurnya. Sehingga, bagi daerah lain yang masih mempunyai tradisi atau ritual peninggalan leluhur seperti itu, hendaknya dijaga dan dipertahankan. Bagi tetua kampung yang tahu asal muasal serta tata cara adat istiadat tersebut, hendaknya mengajarkannya kepada generasi muda juga agar tradisi tersebut tidak hilang dimakan zaman. Generasi muda harus mengetahui jerih payah para nenek moyang mereka karena sebuah sejarah harus dipertahankan.
Tradisi upacara ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Sukodono Tahunan Jepara di balai desa memang diperingati dengan menggunakan dasar penanggalan Jawa Islam sistem Aboge yang selalu berbeda dengan sistem Jawa Islam sistem Asapon bahkan berbeda dengan penangglan Hijriyah. Upacara ritual tersebut ada yang berpedoman dengan tanggal dan ada yang berpedoman dengan hari. Yang perpedoman dengan tanggal adalah Suronan (8 Suro), Maulid Nabi Muhammad (12 Mulud), Nisfu Sya’ban (15 Ruwah), Lailatul Qadar (21 Poso), Idul Fitri (1 Sawal), serta Idul Adha (10 Besar). Sedangkan yang berpedoman denga hari adalah Arang Kambang (Jum’at Wage pada bulan Bakdo mulud), Barian Tandur (Jum’at Legi pada bulan Jumadil Akir), Barian Apem (Jum’at Pon pada bulan Sawal) dan Sedekah Bumi (Senin Pahing pada bulan Apit).
Dalam pelaksanaan ibadah seperti memulai puasa, shalat hari raya, serta kurban, masyarakat Sukodono tetap mengikuti pada apa yang telah diputuskan oleh Pemerintah. Walaupun masih ada sebagian kecil dari orang yang sudah lanjut usia yang pedoman dengan Aboge.