Opini Oleh : Gilang Fauzan.
Dalam debat cawapres kemarin lusa ada yang membuatku tergelitik. Salah satunya terkait pertanyaan dari Mahfud ke Gibran soal pajak. Sebab persoalan ini penting bagi semua kalangan, baik dari masyarakat bawah maupun kelas atas. Bahkan pengusaha sekalipun. Tentu saja dikarenakan, apakah penarikan pajak semakin tinggi atau tetap sama saja.
Pada waktu debat, Mahfud menanyakan rasio pajak 23% diambil dari APBN atau PDB. Justru sikap Gibran menggurui bukan menjawab persoalan. Soalnya Gibran mengatakan bahwa rasio pajak dan peningkatan pajak itu berbeda, padahal itu sama saja. Sebab rasio pajak itu penetapan berapa persen negara menetapkan pajak. Jadi semakin tinggi rasio pajak, penarikan pajak apapun menjadi naik.
Gibran memberi makna bahwa rasio pajak sama dengan penerimaan pajak. Jika yang dimaksud berkaitan seberapa persen pajak yang seharusnya diterima negara atau realisasinya, berarti targetnya penerimaan negara ataupun daerah cuma 23% saja. Seharusnya pendapatan pajak dapat mendekati 100%.
Ini bukan sekedar persoalan pertanyaan debat tetapi nanti kedepannya persoalan pajak. Dikasih pertanyaan dari APBN atau PDB saja, jawabnya kemana-mana. Padahal tinggal bilang dari PDB atau APBN, gitu saja lho. Tidak perlu ribet ataupun berbelit-belit sampai ke kebun binatang.
Kalau beneran ini diambil dari PDB, rakyat tinggal tunggu saja kenaikan pajak sampai sebesar 23%. Semua pajak akan mengalami kenaikan, baik pajak kendaraan, pajak barang atau makanan, pajak pengusaha, dan selainnya akan meningkat.
Kira-kira masyarakat taat bayar pajak atau enggak, dengan penetapan 23%? Kemungkinan besar banyak warga tidak taat. Sebab penetapan pajak sebesar 10% saja, masih banyak yang membangkang. Dan jika ini berlanjut, akan berefek pada penetapan bunga bank semakin besar. Mau pinjam modal ataupun berusaha menjadi kesulitan.
Bagiku, pandangan rasio pajak 23% oleh paslon no.2 diambil dari PDB. Sebab ada program unggulan Paslon no.2 makan siang dan susu gratis yang menghabiskan Rp1 T tiap harinya. Otomatis perlu APBN semakin tinggi, salah satunya dengan menaikkan penarikan pajak. Soalnya pajak merupakan pendapatan terbesar suatu negara. Jadi tinggal tunggu saja kenaikan pajak gila-gilaan, jika Prabowo-Gibran terpilih.
Kalau aku sendiri, ogah kenaikan pajak untuk menyukseskan program makan gratis. Sebab kalau dihitung secara terperinci, penarikan pajak semakin besar membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan fisiologis. Dan secara tidak langsung jumlah asupan akan berkurang. Meskipun diberikan makan siang gratis, itu sekedar pengganti sementara.
Yah, kalau program makan siang gratis tidak mengalami kebocoran. Jika terjadi kebocoran, masyarakat rugi. Sebab warga hanya menikmati makanan dengan porsi kecil dan nilai gizinya berkurang. Soalnya anggaran BLT dan selainnya masih mengalami kebocoran maupun tidak tepat sasaran.
Apalagi dengan penarikan pajak yang tinggi, secara tidak langsung akan mematikan perekonomian. Sebab jika perusahaan memiliki pendapatan bersih sekian dan penarikan pajak 23%, maka keuntungan semakin berkurang drastis atau keuntungan bisa tetap asalkan harga produk meningkat dengan tajam. Bagiku, keduanya tetap mematikan ekonomi. Sebab pemerintah kesulitan menaikkan upah buruh sulit.
Belum lagi harga barang menjadi naik semua dan pendapatan masih sama saja. Ibaratnya dulu beli produk x kisaran Rp300 ribu, bisa menjadi Rp330 ribu. Ini baru harga produk nilai kecil atau sedang, belum ketika barang dengan harga jutaan atau lebih. Bisa seberapa banyak nanti kenaikannya. Apalagi dengan pendapatan masih kecil, seberapa banyak yang dapat dibeli.
Jika ingin penarikan pajak semakin tinggi, silakan dukung Gibran. Kalau aku sendiri tidak mau pajak mengalami kenaikan.